Paradoks Dalam Urusan Publikasi Ilmiah Dosen – Antara Harapan untuk Meningkatkan Jumlah Publikasi Versus Pembatasan Jumlah Publikasi yang Dapat Diklaim Per Tahun

Terkait dengan urusan publikasi ilmiah oleh dosen perguruan tinggi, terdapat sejumlah fakta yang sangat menarik untuk kita simak bersama, antara lain :

  1. Pernah terjadi polemik yang bersumber adanya berita bahwa jumlah publikasi ilmiah dari peneliti Indonesia masih kalah dengan yang dihasilkan oleh tetangga kita Malaysia. Fakta tersebut memicu terbitnya kebijakan DIKTI  mahasiswa yang akan mewajibkan mahasiswa S1, S2 dan S3 membuat publikasi ilmiah sebelum dinyatakan lulus,
  2. Hal yang sama juga diberlakukan untuk dosen perguruan tinggi yang akan mendapatkan pendanaan penelitian oleh DIKTI, Kemdiknas atau dari Dewan Riset Nasional, Kantor Menristek. Bahkan untuk skim penelitian tertentu, keberhasilan mempublikasikan hasil penelitian merupakan syarat untuk mendapatkan pendanaan pada tahun berikutnya,
  3. Di balik semangat yang menggebu untuk mendorong peningkatan produktivitas peneliti untuk menghasilkan publikasi ilmiah, terdapat kebijakan yang sangat berlawanan dengan semangat yang coba dibangun untuk meningkatkan produktivitas publikasi.
  4. Dan lain-lainnya.

Sungguh merupakan suatu PARADOKS bagi dosen atau peneliti di perguruan tinggi, yang di satu sisi semangat untuk menulis publikasinya ingin dipacu, tetapi disisi lain harus dihambat oleh aturan bahwa seorang dosen, setiap semester hanya diperbolihkan mengklaim satu publikasi (atau 2 publikasi per tahun) yang dapat digunakan untuk keperluan kenaikan pangkat. Kebijakan ini secara implisit menyatakan bahwa: “Hai dosen perguruan tinggi, silakan lakukan penelitian sebanyak-banyaknya. Tulis publikasi sebanyak yang anda inginkan dari hasil penelitian yang sudah dilakukan. TETAPI . . . berapapun banyaknya publikasi yang ditulis, anda HANYA BOLEH mengklaim DUA PUBLIKASI saja per tahun!

Hm… hm… sangat menarik jika mencermati kedua hal tersebut di atas. “Dosen perguruan tinggi dituntut menulis publikasi yang lebih banyak, karena akan meningkatkan posisi Indonesia relatif terhadap posisi negara lain; Tetapi berapapun publikasi yang dibuat oleh seorang dosen, hanya satu per semester yang dapat diklaim untuk kenaikan pangkat sang dosen.”

Kita barangkali tidak tahu persis apa yang melatarbelakangi kebijakan pembatasan jumlah publikasi yang dapat diklaim dosen perguruan tinggi dalam setahun. Walaupun demikian, akan sangat menarik barangkali untuk menganalisis atau menduga-duga mengapa kebijakan tersebut diberlakukan.

  1. Secara kebetulan (kalau tidak salah ingat!), kebijakan pembatasan jumlah publikasi diberlakukan hampir bersamaan dengan diberlakukannya kebijakan pemberian tunjangan profesi dan tunjangan kehormatan bagi dosen perguruan tinggi di Indonesia.
  2. Diberlakukannya pemberian tunjangan profesi dan kehormatan berdampak pada keinginan yang “TIDAK SEHAT” dari oknum dosen untuk berlomba-lomba mencapai jabatan fungsional tertentu (guru besar) dengan cara antara lain membuat publikasi dalam jumlah yang terkadang “FANTASTIK!” sehingga menimbulkan satu perasaan curious tentang bagaimana yang bersangkutan dapat mencapai angka publikasi yang FANTASTIK tersebut.
  3. Lebih lanjut, keberadaan angka-angka publikasi yang tergolong spektakuler tersebut memunculkan kecurigaan tentang adanya “PEMERKOSAAN” data hasil penelitian dengan tujuan untuk mendapatkan jumlah publikasi sebanyak-banyaknya. Dalam lingkup dunia akademik, hal semacam itu sudah dikategorikan sebagai salah satu bentuk pelanggaran etika akademik. Rupanya dugaan terjadinya pelanggaran etika akademik betul terjadi dan merupakan salah satu dasar diberlakukannya kebijakan pembatasan publikasi tersebut.
  4. Sebetulnya, jumlah publikasi yang FANTASTIK bisa saja dihasilkan oleh seorang dosen perguruan tinggi. Yang tidak etis adalah memaksakan data yang sebetulnya berasal dari satu penelitian (umumnya juga untuk satu publikasi!), tetapi dijadikan ke dalam beberapa publikasi (lebih dari satu!) dengan tujuan mengejar nilai KUM publikasi dan agar bisa cepat menjadi Guru Besar.

Seorang dosen yang mengkoordinasikan beberapa penelitian komprehensif, tentulah mengakumulasikan banyak data yang bisa ditulis menjadi sejumlah publikasi ilmiah. Jika dosen yang bersangkutan pada saat bersamaan juga membimbing sejumlah mahasiswa S2 dan S3 sehingga menghasilkan sejumlah thesis dan disertasi. Dari thesis dan disertasi mahasiswa bimbingannya, tentulah juga dihasilkan data yang banyak dan dapat ditulis menjadi sejumlah publikasi. Dengan demikian, jika sang dosen rajin untuk menulis, pastilah dosen yang bersangkutan akan dapat menghasilkan jumlah publikasi yang banyak juga.

Dari setiap publikasi yang sang dosen hasilkan, tentulah dapat dievaluasi apakah tergolong sebagai pemerkosaan data ataukah memang publikasinya mempunyai data yang komprehensif dan hasil penelitian yang nyata. Ketika ada seorang dosen yang telah  bekerja keras mewujudkan idealisme dan mempublikasikan hasil-hasil penelitiannya dengan baik pula, tidaklah sama dengan oknum dosen yang melakukan perkosaan terhadap data dengan tujuan mendapatkan publikasi sebanyak-banyaknya. Sungguh kasihan dosen yang berdedikasi, mengumpulkan banyak data penelitian dengan ketekunan, dan mempublikasikan datanya menjadi publikasi yang komprehensif, disamakan dengan oknum dosen tukang “perkosa” data.

Tentu saja menjadi tidak fair jika satu kebijakan yang dikembangkan sebagai respons terhadap oknum dosen dengan negative attitude tersebut harusjuga  diterapkan pada dosen yang menjalankan fungsinya dengan baik dan berdedikasi. Alangkah baiknya jika yang dinilai adalah betul-betul didasarkan pada substansi publikasi yang dihasilkan oleh masing-masing dosen perguruan tinggi. Bukan semuanya dihadapkan pada satu aturan yang sama, tetapi aturannya dikembangkan dengan semangat menghukum “SATU SEMESTER – SATU PUBLIKASI.”

Memang di dunia ini tidak akan pernah ada sesuatupun yang sempurna, terutama aturan yang dibuat manusia. Tetapi tidak ada salahnya kalau kita mengambil jalan yang mengarah kepada kesempurnaan. Termasuk dalam hubungannya dengan aturan publikasi ilmiah oleh dosen perguruan tinggi. Jika kebijakan masalah publikasi ilmiah dikembangkan dengan semangat menuju ke arah kesempurnaan, tentulah tidak akan terjadi PARADOKS dalam kaitannya dengan publikasi. Di satu sisi dosen perguruan tinggi didorong untuk menghasilkan publikasi sebanyak-banyaknya, di sisi lain dihadapkan pada situasi hanya boleh mengklaim satu publikasi per semester untuk urusan kenaikan pangkatnya (dua publikasi per tahun).

Demikianlah sedikit hasil perenungan yang terbetik dari SMS salah seorang rekan sejawat di Departemen Agronomi dan Hortikultura (Dr. Maya Melati), yang isinya sebagai berikut: “Pak Dar, sekarang ada aturan satu semester – satu publikasi. Jadi kalau seorang dosen menjadi penulis ke-2 atau ke-3, dan seterusnya, maka sang dosen hanya akan mendapatkan nilai kum publikasi yang sangat kecil. Lantas kapan sang dosen bisa naik pangkat ;-(

Tulisan ini barangkali menyuarakan kegalauan Dr. Maya Melati atas aturan yang sangat membatasi ruang gerak dosen tersebut dan suara hati rekan-rekan sejawat lainnya yang mempunyai perasaan sama. Saya berharap semoga posting ini ada manfaat dan nilai tambahnya bagi rekan sejawat yang membaca. Masukan dan umpan balik rekan sejawat sekalian sangat saya hargai. Semoga informasi ini dapat menjadi secuil ‘Gading dan Belang’ yang dapat saya tinggalkan kepada rekan sejawat yang sempat membacanya.

Baca Juga :

About PMB Lab: Prof. Sudarsono

This blog is dedicated as a communication media among alumni associated with PMB Lab, Dept. of Agronomy and Horticulture, Fac. of Agriculture, IPB, Bogor – Indonesia. It contains various information related to alumni activities, PMB Lab’s on going activities and other related matters.
This entry was posted in News from PMB Lab, Publications, Serbaneka Info and tagged , , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment